“Jika tidak ada kisah yang sesuai dengan keinginanku, maka
lihatlah aku yang akan menulis sendiri kisahku!”
(Abiyyah, 2016)
Setiap
melihat tulisanku itu, rasanya seperti ada hutang yang menanti ingin dibayar.
Kau tahu kan, rasanya ditagih hutang malunya seperti apa? Aku pun malu, karena
sejak aku menulis dan menempel tulisan itu, tidak ada secuil perubahan pun yang
aku lakukan.
Entahlah
apa yang selama ini aku kerjakan. Jangankan untuk menulis, membereskan kamar
saja aku tidak sempat. Kamarku kini sudah kembaran dengan kapal pecah.
Buku-buku tergeletak dimana-mana, piring dan gelas belum dibersihkan, baju
belum dicuci, bahkan rambutku pun belum di keramas. Sebenarnya, aku ini gadis
macam apa sih? Kalau ada mama, pasti aku sudah diomelin abis-abisan. Aku
terkadang heran dengan diriku sendiri, “Aku ini mau jadi apa kalau terus
begini?”.
“Allahu Akbar.. Allahu Akbar”
Allahu
Akbar! Suara adzan sudah terdengar, dan sedari pagi aku hanya sibuk dengan,
dengan apa ya aku sibuk? Aku pun tak tahu. Dasar aku, cita-cita ingin jadi
penulis yang bisa menginspirasi, memotivasi, tapi apa ini? Diriku pun kurang
motivasi. Dasar pemalas!
Jangankan
untuk berkarya, mandi saja belum. Apa yang harus aku lakukan? Huh.. perut juga
lapar. Aku sekarang ngapain ya?
“Dhaaaarr!”
“Astagfirullahal
‘adzim!” Faiha tersentak kaget. Gadis berkerudung biru itu balik memukul lembut
badan temannya yang super jahil itu. “Duh, Lastri kamu ngagetin aja sih!”
“Hehehe,
maaf ukhty cantik. Sedang apa dari tadi diem terus sendiri?” tanya Lastri
sambil mendorong kursi untuk dia duduki.
“Sedang
apa ya? Sedang apa.. sedang apa.. sedang apa sekarang? Sekarang sedang apa
sedang apa sekarang?” jawab Faiha malah nyanyi.
“Dih,
malah nyanyi. Suara itu aurat, loh! Shutt!”
“Kan
gak ada ikhwan, wleeekk!”
“Beneran
ih, lagi apa Fay?” tanya Lastri lagi.
“Kepo
banget yah nih anak. Ini, aku lagi beresin novel Mimpi Abiyyah” jawab Faiha
sambil menunjukkan laptopnya.
“Oh..
hehe. Eh Fay, tahu gak?”
“Enggak”
“Ih
kamu mah..” tiba-tiba handphone Lastri berbunyi, “..bentar ya Fay!”
“Assalaamu’alaikum.
Iya ummi, ini Lastri lagi di beranda bareng Faiha. Belum ummi, belum Lastri sampaikan.
Iya ummi. Wa’alaikumussalam”
“Umimu,
Tri?” tanya Faiha.
“Iya
Fay”
“Ada
apa?”
---...---
Abiyyah
tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Begitu pun dengan Faiha. Ceritanya
tentang Abiyyah terpotong sejak kehadiran Lastri. Faiha tidak berminat lagi
meneruskan cerita mimpi Abiyyah. Kini, dia sedang memikirkan dirinya sendiri,
dia memikirkan mimpinya sendiri.
“TingTong!”
handphone Faiha berbunyi, mengantarkan pesan dari Lastri.
“Assalamu’alaikum
Fay, nanti malem ummiku main ke kosanmu. Mau ngobrol katanya.”
Faiha
bingung menanggapinya bagaimana. Dia saat ini benar-benar ingin sendiri. Ya,
sendirian.
“Wa’alaikumussalaam.
Iya mangga, Lastri. Fay tunggu. Salam buat ummi” balas Faiha.
Faiha
bingung harus berbuat apa. Dia menuju kamar mandi dan mengambil wudhu. Saat ini
Faiha ingin menyampaikan kegamangannya dan bermunjat kepada Rabbnya. Ia
benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ada dua mimpi yang kini dua-duanya
berada di hadapannya. Tapi, dia harus memilih salah satu, dan merelakan salah
satunya lagi.
“Ya
Allah.. ya Tuhanku.. Yang Maha Penyayang diantara para penyayang. Berilah aku
petunjuk-Mu. Mana yang harus kupilih, mimpiku atau menggenapkan imanku? Bila
salah satunya harus kurelakan, maka buatlah hatiku ikhlas merelakannya.”
---...---
“Jadi
begini Fay.. Aku haus, hehe. Minta minum dulu dong”
“Euh,
kamu. Bentar atuh ya” jawab Faiha sambil mengambil 2 gelas teh manis dan
kue-kue kering.
“Jadi
begini Fay, kakak aku.. Mas Fadlie kemarin baru pulang dari Turki. Ummi
menyuruh mas Fadlie cepet nikah, terus mas Fadlie minta saran calonnya siapa.
Ya sudah deh, aku tawarin kamu” ucap Lastri sambil minum teh manis dan
menggigit kue-kue kering dari Faiha.
“Uhuk!”
Faiha tersedak kaget. Segera ia simpan gelas yang dipegangnya.
“Aku,
Las?” hatinya benar-benar berdebar. Aku? Faiha tahu siapa Mas Fadlie, dia juga
sempat punya rasa kepada Mas Fadlie. Faiha benar-benar senang, tapi ia langsung
ingat pada formulir di dalam lemarinya. Rona wajah kebahagiaannya seketika
memudar. Mengapa secepat ini? Batin Faiha.
“Kenapa
emang, Fay? Kamu gak suka sama Masku? Masku kurang ganteng?”
“Bukan
begitu, Lastri. Ada sesuatu yang gimana ya, aduh aku bingung ngejelasinnya” ucap
Faiha gelisah.
“Kamu
sedang suka sama ikhwan lain? Atau sudah ada yang melamar kamu?”
“Bukan,
bukan itu masalahnya..”
“Lalu
kenapa? Masku baik kok, dia juga hafal 30 juz, sudah lulus S2 di Turki lagi,
dia juga sudah punya pekerjaan”
“Iya
aku tahu, masmu orang yang hebat”
Aku
tahu itu semua, Tri. Masmu itu orang yang luar biasa akhlaknya, baik hatinya,
luas ilmunya, taat agamanya.. tapi, aku tidak ingin menikah saat ini. Aku masih
memiliki mimpi. Iya aku tahu, dengan menikah pun aku bisa melanjutkan mimpiku.
Tapi, mimpiku ini lain, Lastri. Aku ingin berpetualang, mengajar di daerah
terpencil.. Aku ingin mengabdi dulu pada negeri ini.
Aku sudah merencanakan ikut program “Mengajar Indonesia” tahun ini sejak 3
tahun yang lalu. Aku sudah merancang segala sesuatu yang akan kulakukan nanti.
Tapi, kau tahu kan, salah satu persyaratannya ialah belum menikah dan tidak
menikah selama mengikuti program itu, kau tahu, kan? Kalau aku menikah, aku
tidak akan pernah bisa mengikuti program itu. Kalau saja masmu datang 1 tahun
lagi, setelah program itu selesai, Lastri. Tentu aku sudah sangat siap. Aku
bahkan sudah sangat siap. Ya Allah, bagaimana ini?
“Lalu
kenapa Fay? Fay? Fay?!” Lastri membuyarkan pikiran Faiha.
“Eh,
iya?”
“Kamu
mau gak ta’aruf sama Mas Fadlie? Kalau enggak, aku mau nawarin ke Fatimah” ucap
Lastri agak kesal pada Faiha.
Fatimah?
Gadis cantik dan shalehah itu, duh beruntung sekali dia jika menikah dengan Mas
Fadlie. Tapi bagaimana ini, ya Allah. Mimpiku sudah kurancang dengan begitu
indah. Aku sudah menantikan mengikuti program “Mengajar Indonesia” tahun ini. Tapi, ah.. mungkin aku terlalu
serakah dan Allah tidak menyukai sifatku yang buruk itu.
Orang
seperti mas Fadlie sulit untuk ditemukan lagi. Kalau aku menolak, sudah pasti
aku wanita yang sangat merugi. Tidak, aku tidak akan memberikan mas Fadlie pada
Fatimah. Meskipun Fatimah adalah sahabatku. Masa sih, mas Fadlie tertolak hanya
karena mimpi konyolku? Lagian, menikah itu ibadah. Aku bisa membangun mimpiku
yang baru bersama mas Fadlie. Aku harus menulis kisahku!
“Aku
ngobrol dulu sama bunda dan Allah dulu yah” ucap Faiha tersenyum.
---...---
“Faiha
sayang, maaf ya ummi mengganggu nak Faiha” ucap umminya Lastri.
“Enggak
kok ummi. Tadi sore, Faiha emang pusing dan lagi ingin sendiri. Tapi sekarang
pikiran Faiha sudah jernih ummi.”
Ummi
menatap Faiha dengan lembut. Seperti ada sesuatu yang sedang dirasakan oleh
Faiha. Ummi takut jika tawarannya pada Fadlie menjadi beban untuk Faiha. Tapi,
wajah Faiha malam ini begitu cerah ceria.
“Memangnya,
tadi sore pusing kenapa? Gara-gara Fadlie?” tanya Ummi. Rona wajah Faiha
memerah seketika, kepalanya menunduk.
“Duh
ummi, Faiha malu.”
“Jangan
malu sayang, bilang saja sama ummi kalau Faiha tidak mau sama Fadlie. Tidak
apa-apa.”
Faiha
langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dengan spontan. Bukan itu ummi, dia
ingin menjelaskan bahwa bukan karena itu. Akhirnya, ia pun mengangkat wajahnya
yang sedari tadi menunduk.
“Bukan
begitu ummi. Faiha tahu siapa mas Fadlie. Laki-laki seperti mas Fadlie itu
tidak layak ditolak. Faiha juga senang tadi mendengar berita itu dari Lastri.
Tapi..” Faiha ragu melanjutkan. Tapi, ia harus tetap melanjutkan kalimatnya.
“Tapi, tadi itu Faiha ingat dengan formulir untuk ikut program Mengajar Indonesia tahun ini. Faiha
tadinya niat mau mengirimkan formulir itu besok. Nah, salah satu syaratnya itu
belum menikah dan tidak menikah selama mengikuti program. Untung, Faiha belum
kirim ya ummi” ucap Faiha tersenyum.
“Ummi
senang mendengarnya. Tapi, bagaimana atuh
mimpi kamu itu yang apa tadi, Mengajar
Indonesia?”
“Tidak
apa-apa ummi, kan nanti Faiha bisa membangun mimpi yang baru lagi sama mas Fadlie,
hehehe”
Ummi
tersenyum mendengarnya. Sekarang sudah jelas apa duduk masalahnya.
Keesokan
harinya Faiha dan Fadlie menjalani prosesi ta’aruf di rumah Faiha di Bogor.
Baru seminggu kemudian, Fadlie dan keluarganya datang melamar Faiha. Mereka pun
akhirnya memutuskan untuk menikah di bulan Juni.
---...---
Abiyyah
memutuskan hubungannya dengan Riko. Dia kini sadar bahwa pacaran adalah sesuatu
yang dilarang oleh Tuhan. Abiyyah kini mulai berbenah diri. Dia bukan lagi
Abbiyah yang dulu. Tidak ada lagi Abbiyah pemalas. Abbiyah menatap jernih masa
depannya dengan kejernihan perilaku barunya. Ia ingin mimpi-mimpinya terwujud
dengan dekapan keimanan dan kecintaan pada Allah Subhanahu wa Ta’alla.
“Lagi
apa, ay?” tanya seorang pria sambil memeluk istrinya dari belakang.
“Lagi
ngelanjutin Mimpi Abiyyah, say” jawab Faiha singkat. Laki-laki yang berada di
belakangnya adalah mas Fadlie. Kini mereka telah menjadi suami istri.
“Mimpi
Abiyyah? Siapa Abiyyah?” tanya Fadlie penasaran. Ia sekarang duduk di depan
Faiha sambil menyeruput coklat panas Faiha.
Faiha
mengambil coklat panasnya, dan minum dari bekas bibir Fadlie. Matanya tidak
lagi tertuju pada laptopnya, tapi pada suaminya.
“Jadi,
Abiyyah itu adalah gadis pemalas yang aku tulis di novel aku. Dulu, sebelum
nikah sama kamu, aku sudah menulis novel judulnya Mimpi Abiyyah, jadi sekarang
aku mau melanjutkan Mimpi Abiyyah” jawabnya sambil tersenyum kemudian matanya
tertuju lagi pada laptopnya.
“Kalau
mimpi kamu apa?”
“Mimpi
aku.. nikah sama kamu, hehe” jawab Faiha sambil ketawa. Fadlie pun tersenyum mendengarnya.
Tapi, ia ingin tahu apa mimpi Faiha. Karena mereka baru seminggu menikah, jadi
masih belum tahu bagaimana kondisi masing-masing pasangannya.
“Dulu,
sebenarnya aku ingin ikut program Mengajar
Indonesia. Aku ingin mendirikan sekolah luar biasa di daerah terpencil dan
terpelosok di Indonesia.”
“Terus?
Kamu ikut program itu?”
“Tadinya,
aku mau ikut. Sehari sebelum aku mau mengirimkan formulir pendaftarannya,
Lastri datang untuk menyampaikan kamu mau melamarku. Jadi aku membatalkan
mengirim formulir itu, deh”
“Kenapa?”
“Karena,
salah satu syarat dari program itu ialah tidak boleh menikah sebelum dan selama
mengikuti program”
Fadlie
merasa bersalah pada Faiha. Mimpi Faiha telah gugur karenanya. Faiha melihat
gelagat itu, langsung ia menjelaskan bahwa ia tidak pernah menyesal
menikahinya.
“Tapi,
aku bahagia kok. Aku lebih baik kehilangan mimpiku daripada kehilangan kamu”
ucapnya sambil nyengir. Fadlie mencubit halus hidung Faiha.
“Dasar
gombal!” ucap Fadlie. Mereka pun saling tertawa satu sama lain.
---...---
Faiha
dan Fadlie memutuskan untuk kembali ke Bandung dan tinggal di kosan Faiha untuk
sementara. Faiha membereskan barang-barangnya dan menyiapkan sarapan untuknya
dan Fadlie, setelah sholat Subuh. Fadlie masih tilawah Qur’an saat itu. Ketika
makanan sudah siap, Faiha memanggil Fadlie untuk makan bersama.
“Tahu
gak, apa yang membuat aku sangat bahagia?” tanya Faiha.
“Apa
itu?” tanya suaminya.
“Aku tidak perlu memutar mp3 Misyari Rasyid
untuk dengerin Al-Qur’an. Suruh kamu aja! Suara kamu lebih aku sukai daripada
suara mp3” ucap Faiha nyengir.
“Tahu
gak, apa yang membuat aku bahagia?” Fadlie bertanya balik.
“Apa
itu?” tanya istrinya.
“Aku
tidak perlu liat acara tv ataupun iri dengan kisah romantis para nabi. Aku
sudah dapetin wanita cantik, sholehah, genit, dan pandai menggombal yang tiada
duanya di dunia” kata Fadlie sambil tertawa.
Faiha
tersipu malu. Selepas makan, mereka pun bersiap untuk pergi ke Bandung. Mereka
berdua mengendarai motor bersama, tentu saja Fadlie yang mengendarai.
Hari
ini, gerimis turun membasahi. Langit berwajah muram. Tapi dua insan yang telah
halal itu tetap bahagia bagaimana pun kondisi alam saat itu. Fadlie mengendarai
dengan cukup cepat tetapi tetap waspada. Faiha mengingat-ingat kejadian saat
Lastri datang ke kosannya. Seandainya dia memilih melanjutkan mimpinya, mungkin
dia tidak akan sebahagia ini. Dia sangat bersyukur kepada Allah yang Maha
Kuasa. Tiba-tiba hatinya berpuisi:
Cinta
Terima kasih ya Allah,
Telah memberiku dia
Mimpiku, akan kulukis indah
Bersamanya..
Motor
yang dibawa Fadlie masih melaju dengan cepat. Angin semakin kencang, dan
gerimis semakin membesar. Faiha memeluk Fadlie dengan erat. Tiba-tiba, di
belakang, sebuah truk tronton kehilangan kendalinya. Remnya blong dan menabrak
dengan brutal kendaraan-kendaraan di sekitarnya, termasuk motor yang dikendarai
Fadlie dan Faiha. Faiha terlempar ke aspal sejauh 10 meter, dan Fadlie tegilas
truk yang besar itu.
“Ya
Allah.. inikah akhir hidupku?” ucap Faiha dalam hati. Ia tidak bisa melihat
dengan jelas. Orang-orang mengerumuninya.
---...---
Tut..
Tut.. Tut..
Suara
pendeteksi jantung berbunyi di samping Faiha. Selang kecil ada di lengannya dan
satu lagi masuk ke dalam hidungnya. Keningnya memakai perban, begitu pun dengan
kaki dan tangannya. Matanya perlahan membuka. Di sampingnya ada bunda dan ummi
yang sedari tadi menungguinya. Air mata keluar mengalir di pipi Faiha, dengan
terbata dia memanggil bunda dan umminya.
“Bundaa..
Ummi..”
“Iya
sayang, bunda di sini” ucap bunda sambil menangis. Ummi mengenggam tangan
Faiha. “Ummi juga disini, sayang.”
“Faiha
sakit. Ini pasti rumah sakit.”
Ummi
dan bunda tak kuasa menahan tangis mereka. Lastri yang sedang duduk di kursi
pun terus menangis.
“Mas
Fadlie mana?” tanya Faiha lagi.
Bunda
tidak tahu harus berkata apa. Kondisi Faiha sedang sangat buruk saat ini. Bunda
tidak ingin Faiha semakin terpuruk.
Ummi
mengambil sebuah kotak yang ada dekat Lastri.
“Sebelum
kecelakaan itu, Fadlie mengirimkan ini lewat agen pengiriman, nak. Dia ingin
kamu melihatnya.”
“Kenapa
mas Fadlie mengirimkan ini, ummi? Mas Fadlie mana?” tanya Faiha semakin
menangis.
“Mas
Fadlie.. sudah tenang di sisi Allah, sayang” kata Bunda sambil menangis.
Faiha
pun semakin menangis dalam pembaringannya.
---...---
Sudah
satu tahun, semenjak kepergian mas Fadlie, Faiha kini tinggal di rumah ummi.
Ummi meminta Faiha untuk tidak lagi tinggal di kosan, karena Faiha pun kini
telah menjadi anak ummi. Faiha masih harus tinggal di Bandung, menyelesaikan
studinya. Dan kini, Faiha tidak pernah menangis lagi atas kematian suaminya.
“Faiha,
ummi minta maaf ya, sayang!” suatu hari ucap ummi kepadanya.
“Maaf
kenapa ummi?”
“Karena
ummi, kamu tidak bisa melanjutkan mimpimu. Terus kini, kamu malah menjadi janda”
lanjut ummi sambil tersedu.
“Tidak ummi” Faiha menggeleng. “Ini sudah
menjadi takdir Faiha. Mungkin mimpi Faiha tidak bisa Fay capai, tapi Faiha akan
melanjutkan Mimpi Abiyyah.” Ucap Faiha tersenyum dan optimis.
“Abiyyah?
Siapa itu?” tanya ummi.
“Abiyyah
itu gadis pemalas di novelnya Faiha. Doakan Faiha agar menjadi penulis ya
ummi.” Pinta Faiha sambil tersenyum. “Kotak yang diberikan mas Fadlie itu ada
sebuah DVD-nya ummi. Di DVD itu, mas Fadlie menyemangati Faiha untuk
melanjutkan mimpi Abiyyah dan memotivasi Faiha untuk menjadi penulis. Faiha
tidak sedih lagi saat itu dan Faiha tidak pernah menyesal menikahi mas Fadlie.”
“Entah
bagaimana jadinya kalau Faiha tidak menikah dengan Mas Fadlie, Faiha mungkin akan
menyesal seumur hidup Faiha karena menyia-nyiakan orang sholeh seperti mas Fadlie.
Mimpi dan cita-cita Faiha bisa Faiha rajut kembali ummi. Tapi, kalau hati..
merajutnya kembali pun menyakitkan ummi. Insya Allah, Faiha bahagia.”
“Kalau
Faiha mau menikah lagi, ummi tidak keberatan, Nak. Kamu masih sangat muda.”
“Tidak
ummi. Faiha tidak akan menikah lagi. Faiha akan menunggu mas Fadlie di Surganya
Allah. Makasih ya ummi, sudah mau menjadi mertua Faiha.” Faiha tersenyum.
Ummi
menyeka air matanya, ia melihat ketegaran di mata menantunya itu. “Masyaa
Allah, Faiha.” Ucap ummi, “Terima kasih juga, nak, sudah mau jadi menantu
ummi.” Ummi pun memeluk Faiha sambil bercucuran air mata.
0 komentar:
Posting Komentar