Kamis, 20 April 2017

Mimpi Abiyyah


“Jika tidak ada kisah yang sesuai dengan keinginanku, maka lihatlah aku yang akan menulis sendiri kisahku!”
(Abiyyah, 2016)
Setiap melihat tulisanku itu, rasanya seperti ada hutang yang menanti ingin dibayar. Kau tahu kan, rasanya ditagih hutang malunya seperti apa? Aku pun malu, karena sejak aku menulis dan menempel tulisan itu, tidak ada secuil perubahan pun yang aku lakukan.
Entahlah apa yang selama ini aku kerjakan. Jangankan untuk menulis, membereskan kamar saja aku tidak sempat. Kamarku kini sudah kembaran dengan kapal pecah. Buku-buku tergeletak dimana-mana, piring dan gelas belum dibersihkan, baju belum dicuci, bahkan rambutku pun belum di keramas. Sebenarnya, aku ini gadis macam apa sih? Kalau ada mama, pasti aku sudah diomelin abis-abisan. Aku terkadang heran dengan diriku sendiri, “Aku ini mau jadi apa kalau terus begini?”.
“Allahu Akbar.. Allahu Akbar”
Allahu Akbar! Suara adzan sudah terdengar, dan sedari pagi aku hanya sibuk dengan, dengan apa ya aku sibuk? Aku pun tak tahu. Dasar aku, cita-cita ingin jadi penulis yang bisa menginspirasi, memotivasi, tapi apa ini? Diriku pun kurang motivasi. Dasar pemalas!
Jangankan untuk berkarya, mandi saja belum. Apa yang harus aku lakukan? Huh.. perut juga lapar. Aku sekarang ngapain ya?
“Dhaaaarr!”
“Astagfirullahal ‘adzim!” Faiha tersentak kaget. Gadis berkerudung biru itu balik memukul lembut badan temannya yang super jahil itu. “Duh, Lastri kamu ngagetin aja sih!”
“Hehehe, maaf ukhty cantik. Sedang apa dari tadi diem terus sendiri?” tanya Lastri sambil mendorong kursi untuk dia duduki.
“Sedang apa ya? Sedang apa.. sedang apa.. sedang apa sekarang? Sekarang sedang apa sedang apa sekarang?” jawab Faiha malah nyanyi.
“Dih, malah nyanyi. Suara itu aurat, loh! Shutt!”
“Kan gak ada ikhwan, wleeekk!”
“Beneran ih, lagi apa Fay?” tanya Lastri lagi.
“Kepo banget yah nih anak. Ini, aku lagi beresin novel Mimpi Abiyyah” jawab Faiha sambil menunjukkan laptopnya.
“Oh.. hehe. Eh Fay, tahu gak?”
“Enggak”
“Ih kamu mah..” tiba-tiba handphone Lastri berbunyi, “..bentar ya Fay!”
“Assalaamu’alaikum. Iya ummi, ini Lastri lagi di beranda bareng Faiha. Belum ummi, belum Lastri sampaikan. Iya ummi. Wa’alaikumussalam”
“Umimu, Tri?” tanya Faiha.
“Iya Fay”
“Ada apa?”
---...---
Abiyyah tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Begitu pun dengan Faiha. Ceritanya tentang Abiyyah terpotong sejak kehadiran Lastri. Faiha tidak berminat lagi meneruskan cerita mimpi Abiyyah. Kini, dia sedang memikirkan dirinya sendiri, dia memikirkan mimpinya sendiri.
“TingTong!” handphone Faiha berbunyi, mengantarkan pesan dari Lastri.
“Assalamu’alaikum Fay, nanti malem ummiku main ke kosanmu. Mau ngobrol katanya.”
Faiha bingung menanggapinya bagaimana. Dia saat ini benar-benar ingin sendiri. Ya, sendirian.
“Wa’alaikumussalaam. Iya mangga, Lastri. Fay tunggu. Salam buat ummi” balas Faiha.
Faiha bingung harus berbuat apa. Dia menuju kamar mandi dan mengambil wudhu. Saat ini Faiha ingin menyampaikan kegamangannya dan bermunjat kepada Rabbnya. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Ada dua mimpi yang kini dua-duanya berada di hadapannya. Tapi, dia harus memilih salah satu, dan merelakan salah satunya lagi.
“Ya Allah.. ya Tuhanku.. Yang Maha Penyayang diantara para penyayang. Berilah aku petunjuk-Mu. Mana yang harus kupilih, mimpiku atau menggenapkan imanku? Bila salah satunya harus kurelakan, maka buatlah hatiku ikhlas merelakannya.”
---...---
“Jadi begini Fay.. Aku haus, hehe. Minta minum dulu dong”
“Euh, kamu. Bentar atuh ya” jawab Faiha sambil mengambil 2 gelas teh manis dan kue-kue kering.
“Jadi begini Fay, kakak aku.. Mas Fadlie kemarin baru pulang dari Turki. Ummi menyuruh mas Fadlie cepet nikah, terus mas Fadlie minta saran calonnya siapa. Ya sudah deh, aku tawarin kamu” ucap Lastri sambil minum teh manis dan menggigit kue-kue kering dari Faiha.
“Uhuk!” Faiha tersedak kaget. Segera ia simpan gelas yang dipegangnya.
“Aku, Las?” hatinya benar-benar berdebar. Aku? Faiha tahu siapa Mas Fadlie, dia juga sempat punya rasa kepada Mas Fadlie. Faiha benar-benar senang, tapi ia langsung ingat pada formulir di dalam lemarinya. Rona wajah kebahagiaannya seketika memudar. Mengapa secepat ini? Batin Faiha.
“Kenapa emang, Fay? Kamu gak suka sama Masku? Masku kurang ganteng?”
“Bukan begitu, Lastri. Ada sesuatu yang gimana ya, aduh aku bingung ngejelasinnya” ucap Faiha gelisah.
“Kamu sedang suka sama ikhwan lain? Atau sudah ada yang melamar kamu?”
“Bukan, bukan itu masalahnya..”
“Lalu kenapa? Masku baik kok, dia juga hafal 30 juz, sudah lulus S2 di Turki lagi, dia juga sudah punya pekerjaan”
“Iya aku tahu, masmu orang yang hebat”
Aku tahu itu semua, Tri. Masmu itu orang yang luar biasa akhlaknya, baik hatinya, luas ilmunya, taat agamanya.. tapi, aku tidak ingin menikah saat ini. Aku masih memiliki mimpi. Iya aku tahu, dengan menikah pun aku bisa melanjutkan mimpiku. Tapi, mimpiku ini lain, Lastri. Aku ingin berpetualang, mengajar di daerah terpencil.. Aku ingin mengabdi dulu pada negeri ini.
Aku  sudah merencanakan ikut program “Mengajar Indonesia” tahun ini sejak 3 tahun yang lalu. Aku sudah merancang segala sesuatu yang akan kulakukan nanti. Tapi, kau tahu kan, salah satu persyaratannya ialah belum menikah dan tidak menikah selama mengikuti program itu, kau tahu, kan? Kalau aku menikah, aku tidak akan pernah bisa mengikuti program itu. Kalau saja masmu datang 1 tahun lagi, setelah program itu selesai, Lastri. Tentu aku sudah sangat siap. Aku bahkan sudah sangat siap. Ya Allah, bagaimana ini?
“Lalu kenapa Fay? Fay? Fay?!” Lastri membuyarkan pikiran Faiha.
“Eh, iya?”
“Kamu mau gak ta’aruf sama Mas Fadlie? Kalau enggak, aku mau nawarin ke Fatimah” ucap Lastri agak kesal pada Faiha.
Fatimah? Gadis cantik dan shalehah itu, duh beruntung sekali dia jika menikah dengan Mas Fadlie. Tapi bagaimana ini, ya Allah. Mimpiku sudah kurancang dengan begitu indah. Aku sudah menantikan mengikuti program “Mengajar Indonesia” tahun ini. Tapi, ah.. mungkin aku terlalu serakah dan Allah tidak menyukai sifatku yang buruk itu.
Orang seperti mas Fadlie sulit untuk ditemukan lagi. Kalau aku menolak, sudah pasti aku wanita yang sangat merugi. Tidak, aku tidak akan memberikan mas Fadlie pada Fatimah. Meskipun Fatimah adalah sahabatku. Masa sih, mas Fadlie tertolak hanya karena mimpi konyolku? Lagian, menikah itu ibadah. Aku bisa membangun mimpiku yang baru bersama mas Fadlie. Aku harus menulis kisahku! 
“Aku ngobrol dulu sama bunda dan Allah dulu yah” ucap Faiha tersenyum.
---...---
“Faiha sayang, maaf ya ummi mengganggu nak Faiha” ucap umminya Lastri.
“Enggak kok ummi. Tadi sore, Faiha emang pusing dan lagi ingin sendiri. Tapi sekarang pikiran Faiha sudah jernih ummi.”
Ummi menatap Faiha dengan lembut. Seperti ada sesuatu yang sedang dirasakan oleh Faiha. Ummi takut jika tawarannya pada Fadlie menjadi beban untuk Faiha. Tapi, wajah Faiha malam ini begitu cerah ceria.
“Memangnya, tadi sore pusing kenapa? Gara-gara Fadlie?” tanya Ummi. Rona wajah Faiha memerah seketika, kepalanya menunduk.
“Duh ummi, Faiha malu.”
“Jangan malu sayang, bilang saja sama ummi kalau Faiha tidak mau sama Fadlie. Tidak apa-apa.”
Faiha langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dengan spontan. Bukan itu ummi, dia ingin menjelaskan bahwa bukan karena itu. Akhirnya, ia pun mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk.
“Bukan begitu ummi. Faiha tahu siapa mas Fadlie. Laki-laki seperti mas Fadlie itu tidak layak ditolak. Faiha juga senang tadi mendengar berita itu dari Lastri. Tapi..” Faiha ragu melanjutkan. Tapi, ia harus tetap melanjutkan kalimatnya. “Tapi, tadi itu Faiha ingat dengan formulir untuk ikut program Mengajar Indonesia tahun ini. Faiha tadinya niat mau mengirimkan formulir itu besok. Nah, salah satu syaratnya itu belum menikah dan tidak menikah selama mengikuti program. Untung, Faiha belum kirim ya ummi” ucap Faiha tersenyum.
“Ummi senang mendengarnya. Tapi, bagaimana atuh mimpi kamu itu yang apa tadi, Mengajar Indonesia?”
“Tidak apa-apa ummi, kan nanti Faiha bisa membangun mimpi yang baru lagi sama mas Fadlie, hehehe”
Ummi tersenyum mendengarnya. Sekarang sudah jelas apa duduk masalahnya.
Keesokan harinya Faiha dan Fadlie menjalani prosesi ta’aruf di rumah Faiha di Bogor. Baru seminggu kemudian, Fadlie dan keluarganya datang melamar Faiha. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk menikah di bulan Juni.
---...---
Abiyyah memutuskan hubungannya dengan Riko. Dia kini sadar bahwa pacaran adalah sesuatu yang dilarang oleh Tuhan. Abiyyah kini mulai berbenah diri. Dia bukan lagi Abbiyah yang dulu. Tidak ada lagi Abbiyah pemalas. Abbiyah menatap jernih masa depannya dengan kejernihan perilaku barunya. Ia ingin mimpi-mimpinya terwujud dengan dekapan keimanan dan kecintaan pada Allah Subhanahu wa Ta’alla.
“Lagi apa, ay?” tanya seorang pria sambil memeluk istrinya dari belakang.
“Lagi ngelanjutin Mimpi Abiyyah, say” jawab Faiha singkat. Laki-laki yang berada di belakangnya adalah mas Fadlie. Kini mereka telah menjadi suami istri.
“Mimpi Abiyyah? Siapa Abiyyah?” tanya Fadlie penasaran. Ia sekarang duduk di depan Faiha sambil menyeruput coklat panas Faiha.
Faiha mengambil coklat panasnya, dan minum dari bekas bibir Fadlie. Matanya tidak lagi tertuju pada laptopnya, tapi pada suaminya.
“Jadi, Abiyyah itu adalah gadis pemalas yang aku tulis di novel aku. Dulu, sebelum nikah sama kamu, aku sudah menulis novel judulnya Mimpi Abiyyah, jadi sekarang aku mau melanjutkan Mimpi Abiyyah” jawabnya sambil tersenyum kemudian matanya tertuju lagi pada laptopnya.
“Kalau mimpi kamu apa?”
“Mimpi aku.. nikah sama kamu, hehe” jawab Faiha sambil ketawa. Fadlie pun tersenyum mendengarnya. Tapi, ia ingin tahu apa mimpi Faiha. Karena mereka baru seminggu menikah, jadi masih belum tahu bagaimana kondisi masing-masing pasangannya.
“Dulu, sebenarnya aku ingin ikut program Mengajar Indonesia. Aku ingin mendirikan sekolah luar biasa di daerah terpencil dan terpelosok di Indonesia.”
“Terus? Kamu ikut program itu?”
“Tadinya, aku mau ikut. Sehari sebelum aku mau mengirimkan formulir pendaftarannya, Lastri datang untuk menyampaikan kamu mau melamarku. Jadi aku membatalkan mengirim formulir itu, deh”
“Kenapa?”
“Karena, salah satu syarat dari program itu ialah tidak boleh menikah sebelum dan selama mengikuti program”
Fadlie merasa bersalah pada Faiha. Mimpi Faiha telah gugur karenanya. Faiha melihat gelagat itu, langsung ia menjelaskan bahwa ia tidak pernah menyesal menikahinya.
“Tapi, aku bahagia kok. Aku lebih baik kehilangan mimpiku daripada kehilangan kamu” ucapnya sambil nyengir. Fadlie mencubit halus hidung Faiha.
“Dasar gombal!” ucap Fadlie. Mereka pun saling tertawa satu sama lain.
---...---
Faiha dan Fadlie memutuskan untuk kembali ke Bandung dan tinggal di kosan Faiha untuk sementara. Faiha membereskan barang-barangnya dan menyiapkan sarapan untuknya dan Fadlie, setelah sholat Subuh. Fadlie masih tilawah Qur’an saat itu. Ketika makanan sudah siap, Faiha memanggil Fadlie untuk makan bersama.
“Tahu gak, apa yang membuat aku sangat bahagia?” tanya Faiha.
“Apa itu?” tanya suaminya.
 “Aku tidak perlu memutar mp3 Misyari Rasyid untuk dengerin Al-Qur’an. Suruh kamu aja! Suara kamu lebih aku sukai daripada suara mp3” ucap Faiha nyengir.
“Tahu gak, apa yang membuat aku bahagia?” Fadlie bertanya balik.
“Apa itu?” tanya istrinya.
“Aku tidak perlu liat acara tv ataupun iri dengan kisah romantis para nabi. Aku sudah dapetin wanita cantik, sholehah, genit, dan pandai menggombal yang tiada duanya di dunia” kata Fadlie sambil tertawa.
Faiha tersipu malu. Selepas makan, mereka pun bersiap untuk pergi ke Bandung. Mereka berdua mengendarai motor bersama, tentu saja Fadlie yang mengendarai.
Hari ini, gerimis turun membasahi. Langit berwajah muram. Tapi dua insan yang telah halal itu tetap bahagia bagaimana pun kondisi alam saat itu. Fadlie mengendarai dengan cukup cepat tetapi tetap waspada. Faiha mengingat-ingat kejadian saat Lastri datang ke kosannya. Seandainya dia memilih melanjutkan mimpinya, mungkin dia tidak akan sebahagia ini. Dia sangat bersyukur kepada Allah yang Maha Kuasa. Tiba-tiba hatinya berpuisi:
Cinta
Terima kasih ya Allah,
Telah memberiku dia
Mimpiku, akan kulukis indah
Bersamanya..
Motor yang dibawa Fadlie masih melaju dengan cepat. Angin semakin kencang, dan gerimis semakin membesar. Faiha memeluk Fadlie dengan erat. Tiba-tiba, di belakang, sebuah truk tronton kehilangan kendalinya. Remnya blong dan menabrak dengan brutal kendaraan-kendaraan di sekitarnya, termasuk motor yang dikendarai Fadlie dan Faiha. Faiha terlempar ke aspal sejauh 10 meter, dan Fadlie tegilas truk yang besar itu.
“Ya Allah.. inikah akhir hidupku?” ucap Faiha dalam hati. Ia tidak bisa melihat dengan jelas. Orang-orang mengerumuninya.
---...---
Tut.. Tut.. Tut..
Suara pendeteksi jantung berbunyi di samping Faiha. Selang kecil ada di lengannya dan satu lagi masuk ke dalam hidungnya. Keningnya memakai perban, begitu pun dengan kaki dan tangannya. Matanya perlahan membuka. Di sampingnya ada bunda dan ummi yang sedari tadi menungguinya. Air mata keluar mengalir di pipi Faiha, dengan terbata dia memanggil bunda dan umminya.
“Bundaa.. Ummi..”
“Iya sayang, bunda di sini” ucap bunda sambil menangis. Ummi mengenggam tangan Faiha. “Ummi juga disini, sayang.”
“Faiha sakit. Ini pasti rumah sakit.”
Ummi dan bunda tak kuasa menahan tangis mereka. Lastri yang sedang duduk di kursi pun terus menangis.
“Mas Fadlie mana?” tanya Faiha lagi.
Bunda tidak tahu harus berkata apa. Kondisi Faiha sedang sangat buruk saat ini. Bunda tidak ingin Faiha semakin terpuruk.
Ummi mengambil sebuah kotak yang ada dekat Lastri.
“Sebelum kecelakaan itu, Fadlie mengirimkan ini lewat agen pengiriman, nak. Dia ingin kamu melihatnya.”
“Kenapa mas Fadlie mengirimkan ini, ummi? Mas Fadlie mana?” tanya Faiha semakin menangis.
“Mas Fadlie.. sudah tenang di sisi Allah, sayang” kata Bunda sambil menangis.
Faiha pun semakin menangis dalam pembaringannya.
---...---
Sudah satu tahun, semenjak kepergian mas Fadlie, Faiha kini tinggal di rumah ummi. Ummi meminta Faiha untuk tidak lagi tinggal di kosan, karena Faiha pun kini telah menjadi anak ummi. Faiha masih harus tinggal di Bandung, menyelesaikan studinya. Dan kini, Faiha tidak pernah menangis lagi atas kematian suaminya.
“Faiha, ummi minta maaf ya, sayang!” suatu hari ucap ummi kepadanya.
“Maaf kenapa ummi?”
“Karena ummi, kamu tidak bisa melanjutkan mimpimu. Terus kini, kamu malah menjadi janda” lanjut ummi sambil tersedu.
 “Tidak ummi” Faiha menggeleng. “Ini sudah menjadi takdir Faiha. Mungkin mimpi Faiha tidak bisa Fay capai, tapi Faiha akan melanjutkan Mimpi Abiyyah.” Ucap Faiha tersenyum dan optimis.
“Abiyyah? Siapa itu?” tanya ummi.
“Abiyyah itu gadis pemalas di novelnya Faiha. Doakan Faiha agar menjadi penulis ya ummi.” Pinta Faiha sambil tersenyum. “Kotak yang diberikan mas Fadlie itu ada sebuah DVD-nya ummi. Di DVD itu, mas Fadlie menyemangati Faiha untuk melanjutkan mimpi Abiyyah dan memotivasi Faiha untuk menjadi penulis. Faiha tidak sedih lagi saat itu dan Faiha tidak pernah menyesal menikahi mas Fadlie.”
“Entah bagaimana jadinya kalau Faiha tidak menikah dengan Mas Fadlie, Faiha mungkin akan menyesal seumur hidup Faiha karena menyia-nyiakan orang sholeh seperti mas Fadlie. Mimpi dan cita-cita Faiha bisa Faiha rajut kembali ummi. Tapi, kalau hati.. merajutnya kembali pun menyakitkan ummi. Insya Allah, Faiha bahagia.”
“Kalau Faiha mau menikah lagi, ummi tidak keberatan, Nak. Kamu masih sangat muda.”
“Tidak ummi. Faiha tidak akan menikah lagi. Faiha akan menunggu mas Fadlie di Surganya Allah. Makasih ya ummi, sudah mau menjadi mertua Faiha.” Faiha tersenyum.

Ummi menyeka air matanya, ia melihat ketegaran di mata menantunya itu. “Masyaa Allah, Faiha.” Ucap ummi, “Terima kasih juga, nak, sudah mau jadi menantu ummi.” Ummi pun memeluk Faiha sambil bercucuran air mata.
0

0 komentar:

Posting Komentar