Selasa, 07 Februari 2017

Selamat Tinggal

Fikri masih duduk di atas motor ninjanya, menunggu Jamila selesai kuliah.
“Naiklah,” kata Fikri saat melihat Jamila.
“Tidak, kita bukan muhrim,” ucap Jamila.
“Sekali ini saja, please! Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan,” Fikri memohon.
“Aku tunggu kau di beranda rumahku. Assalamu’alaikum,” pamit Jamila meninggalkan Fikri.
Fikri tak habis pikir dengan Jamila. Mengapa kekasihnya menjadi seperti ini. Pada awalnya dia senang dengan perubahan Jamila, pacarnya itu pertama memberitahukan bahwa dia akan belajar berhijab. Kemudian, pacarnya juga sering mengingatkannya sholat dan berpuasa. Fikri bahagia dengan itu semua, hingga pada suatu hari.. kebahagiaan itu sirna. Jamila sudah mulai tidak ingin dibonceng lagi olehnya, tidak mau lagi diajak jalan berdua, dan seminggu kemarin dia meminta putus. Ini benar-benar sudah keterlaluan. Apa yang terjadi pada Jamila? Apakah ada orang ketiga?
“Kayaknya, Jamila ikut aliran sesat, Fik!” tuduh Johan. Mendengar itu, Fikri hanya diam, “Masa sih? Gak mungkin banget Jamila sesat!” ucapnya dalam hati.
“Hush! Jangan sembarangan ngomong lu!” timpal Lingga. “Kalau sepengamatan gue, Jamila itu sekarang udah mulai tobat. Dia mau hijrah dari tadinya banyak maksiat ke jalan nyang bener. Lu juga mestinya ngikutin Jamila, Fik!” saran Lingga.
“Maksud lu?” tanya Fikri.
“Ya, kan sekarang Jamila udah tobat. Jadi elu juga harus tobat. Mulai dari yang keliatan aja dulu yeh, misalkan penampilan. Lu liat kan si Jamila sekarang kerudungnya panjang bener, nah buat dapetin hati Jamila lagi elu harus ganti penampilan juga. Biasanya, cewek-cewek model kayak gitu sukanya sama cowok pake baju koko atau baju gamis, celana bahan yang cingkrang, terus ada jenggotnya. Hahahaha, nah elu pake itu!” saran Lingga sambil menertawakan temannya. Johan pun ikut tertawa.
“Gile lu yah! Masak gue harus jadi abah-abah mesjid gitu? No way!” tolak Fikri.
“Kenapa no way, Fik? Kalau itu yang diperintahin sama agama lu, kenapa elu nolak?” tanya Johan.
“Emang lu mau gitu kalau kemana-mana pake baju kayak pastur elu yang di gereja-gereja?” tanya Fikri.
“Kagak juga sih,” jawab Johan nyengir. “Tapi..” lanjutnya agak serius, “Kalau di agama lu emang diajarin gak boleh pacaran, gak boleh pegangan, terus kalau emang si Jamila itu gak sesat..” ucap Johan terhenti. Fikri dan Lingga pun serius mendengarkan.
“Berarti elu berdua dong yang sesat!” sambungnya sambil menunjuk dua sahabatnya itu.
Fikri dan Lingga akhirnya garuk-garuk kepala, malas menanggapi, “Kirain mau ngomong apa, huh!”, tapi kalau dipikir, ada benernya juga sih omongannya si Johan.
-----...-----
Fikri memarkirkan motornya di depan rumah Jamila, di samping pohon jambu batu.
“Assalamu’alaikum,” ucap Fikri sambil mengetuk pintu.
“Wa’alaikumussalaam, eh den Fikri” sapa bi Murni. “Mau ketemu neng Mila, den?”
“Hehe, iya bi. Jamilanya ada?” tanya Fikri memastikan.
“Ada, tuh sedang ngaji di atas. Bibi panggilkan dulu ya, aden silakan masuk,” kata bi Murni mempersilakan.
“Iya makasih bi, saya tunggu di sini aja,” jawab Fikri.
Tidak lama kemudian, Jamila turun menemui Fikri yang sedang menunggu di beranda rumahnya. Dia membawa mushaf kecil berwarna hijau tosca, warna favoritnya.
“Duh kayaknya aku salah kostum deh, harusnya aku pakai kemeja tosca, biar dipeluk juga sama kamu,” gombal Fikri saat melihat Jamila.
“Mau bicara apa?” tanya Jamila dengan nada datar.
Fikri terdiam, dia berpikir cukup keras. Kalau bilang dia kangen pada Jamila, pasti Jamila langsung menutup pintu. Huh, Fikri benar-benar lupa menyiapkan kata-kata untuk meluluhkan Jamila.
“Mawarnya kok udah coklat kayak gini?” tanya Fikri mengalihkan pembicaraan.
“Itu mawar yang kamu kasih ke aku, 5 bulan yang lalu,” jawab Jamila.
“Dan kamu masih simpen? Padahal kamu bisa bilang sama aku kalau kamu mau yang baru.”
“Memangnya, apapun yang aku minta bakal kamu kasih gitu?” tanya Jamila. Fikri bersemangat mendengarnya.
“Iya dong, sayang. Kamu kayak gak kenal aku aja,” ucap Fikri mengiyakan.
“Kalau gitu, kapan kamu ijab aku depan penghulu?” tanya Jamila mantap. Fikri tercengang.
“Maksudnya, nikahin kamu?”
“Emang menurut kamu apa?” sahut Jamila.
“Sayang, nikah itu gak sesimpel itu. Kalau cuma ijab depan penghulu, sekarang juga aku bisa,” kata Fikri, lanjutnya ”..tapi nikah itu butuh banyak kesiapan. Aku belum bekerja, aku masih terlalu muda. Aku juga masih butuh waktu buat semua itu.”
“Kamu gak konsisten dengan ucapan kamu. Hari sudah sore, langit juga sebentar lagi gelap. Rumahku jauh dari rumahmu. Kamu cepet pulang sana!” sindir Jamila menyuruh Fikri pulang.
“Kenapa sih kita mesti terburu-buru? Kenapa kita gak kayak dulu aja? Pacaran, happy-happy?”
“Kamu berubah, Mil. Sebenarnya, kamu masih sayang gak sih sama aku?” tanya Fikri.
“Kamu sayang gak sama aku?” tanya Jamila balik.
“Kalau aku gak sayang sama kamu, aku gak bakal bela-belain setiap hari datang ke sini,” ucap Fikri meyakinkan.
“Kalau aku gak sayang sama kamu, aku gak bakal nyuruh kamu buat nikahin aku,” timpal Jamila dahsyat.
Fikri terdiam mendengarnya. Sesekali dia menoleh pada Jamila yang sedang asyik menatap langit, dinding, dan lantai. Bahkan, Jamila tidak menoleh ke arahnya sekalipun, batin Fikri kecewa. Setelah beberapa saat akhirnya Fikri berbicara, “Kamu benar, Mila. Hari sudah sore, langit juga sudah gelap. Rumahku jauh dari rumahmu, aku pamit. Assalamu’alaikum,” pamit Fikri dengan hati yang sangat kecewa.
“Wa’alaikumussalaam,” jawab Jamila. Fikri melihat gadis yang dicintainya itu begitu cuek kepadanya, seolah tidak merasakan keperihan hatinya. Padahal, Jamila pun teramat kecewa dengan sikap Fikri.
-----...-----
“Gimana apel lu kemaren, Fik? Sukses?” tanya Lingga sambil menyeruput es duren.
“Mila nyuruh gue nikahin dia, bro!” jawabnya sambil menyeruput es duren juga.
“Wih, terus lu jadi mau nikahin dia kapan?” tanya Johan semangat.
“Nikah? Nikah pala lu! Gue masih terlalu muda, belum punya penghasilan, tabungan gue juga masih dikit buat nyiapin pernikahan. Mau dikasih apa bini gue nanti? Emang nikah cuman sekedar ijab qabul aja apa?” kesal Fikri.
“Tapi, kalau sepengamatan gue.. Jamila itu kayaknya gak peduli prospek hidup elu sama dia itu kayak gimana. Dia maunya halal sama elu aja. Udeh, gitu aja, Fik,” pendapat Lingga.
“Kalau Sarah nyuruh elu nikahin dia sekarang juga, mau kagak?” tanya Fikri balik pada Lingga.
“Kalau gue sih mau, tapi Sarahnya kagak mau. Gimana dong?”
“Terserah lu, deh!” kepala Fikri sudah pusing dengan Jamila. Dia jadi teringat kejadian di suatu sore di beranda rumah Jamila..
“Mil, kenapa kamu mau nikah sama aku?” tanya Fikri
“Kenapa kamu mau pacaran sama aku?” tanya Jamila balik.
“Kenapa kalau aku nanya, kamu selalu bertanya balik?”
“Karena jawabanku ada pada jawaban kamu.”
“Aku ingin dengar kamu lebih dahulu sebelum aku sebutkan jawaban aku,” ucap Fikri. Jamila menghela nafas sambil memperhatikan semut hitam di batang pohon jambu.
“Karena aku ingin membangun surga bersamamu. Aku ingin hubungan kita halal.”
Fikri terharu mendengar jawaban Jamila. Tapi, dia benar-benar belum siap jika harus menikah saat ini.
“Aku yakin kamu masih sayang, kan sama aku. Karena itu, kamu mau hidup denganku. Tapi, bisa gak kamu nunggu aku? Tunggu sampai aku siap melamar kamu?” pinta Fikri.
“Nunggu? Sampai kapan?” tanya Jamila.
“Sampai aku siap.”
“Kapan kamu siap?”
Lidah Fikri kelu, entah apa yang harus dia katakan. Dan sekarang, otaknya membatu, entah apa yang harus dia pikirkan.
“Ya udah deh, Fik,” ucap Johan, “Kalau lu bosen sama Jamila dan pusing sama dia yang minta elu nikahin dia mulu, cari aja cewek lain! Masih banyak yang lebih cakep ketimbang Jamila,”sarannya sambil menyeruput es duren. Kepala Fikri semakin pusing dibuatnya.
-----...-----
Fikri benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi pada Jamila. Lama-kelamaan dia mulai kesal dengan ceramah-ceramah Jamila. Fikri sudah sangat hafal apa yang akan dikatakan Jamila.
“Kita itu bukan muhrim, Fikri. Kepala seorang laki-laki itu lebih baik jika ditusuk dengan jarum besi panas daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya.”
“Kapan kamu halalin aku?”
“Apa sih untungnya pacaran? Investasi dosa doang, Fik. Mending nikah, kamu gak mau gitu nikah sama aku?”
Terus, kalau Fikri mengalihkan pembicaraan menceritakan kejadian lucu yang dialami oleh teman-temannya, Jamila pasti bilang,
“Astagfirullah Fikri, ghibah itu dosa! Sama kayak kamu makan daging saudara kamu sendiri! Istighfar!”
“Fikri, kamu mau gak kalau orang lain nyebut-nyebutin keburukan kamu?”
Dan akhir-akhirnya, Jamila pasti akan mengusir Fikri untuk pergi dari rumahnya.
“Kamu cepet pulang deh, tidak baik seorang laki-laki dan seorang perempuan berduaan lama-lama, yang ketiganya setan, tahu!”
Akhirnya, Fikri pun mengurangi intensitas bertemu Jamila. Kali ini, dia hanya sebulan sekali bertemu dengan kekasih yang tak menganggapnya lagi itu. Bagaimana pun, Fikri tidak mau kehilangan Jamila. Sulit jika harus mendapatkan wanita yang seperti Jamila. Dia tiada duanya.
Namun, hari itu, Fikri sudah terlampau kesal pada Jamila. Benar kata Johan, masih banyak yang lebih baik dari Jamila. Saat itu, Jamila terus mendesak Fikri menikahinya kalau tidak maka Jamila akan menikah dengan yang lain. Ya sudahlah, menikah saja dengan yang lain!
“Entah apa yang harus aku katakan lagi  sama kamu, Fik. Aku sudah terlanjur malu sama kamu. Apa kamu pernah menemukan perempuan yang terang-terangan meminta dinikahi sesering aku? Aku malu sama kamu, Fik. Sekali lagi aku meminta sama kamu, kalau kamu masih gak mau maka aku gak akan memintanya lagi.”
“Aku juga sudah bingung mau bicara apa lagi. Nikah itu bukan hal yang sederhana, Mil. Aku sudah lelah juga mendengarmu memintaku menikahimu. Bahkan, aku sudah hafal apa yang akan kamu sampaikan. Aku sudah hafal ucapan-ucapan kamu, dan aku juga tidak mau lagi berdebat denganmu.”
Jamila menghela nafas panjang. Menahan rasa sakit yang tak terperi. Kekasihnya menolaknya. Fikri menolaknya. Dia pun pergi, berlalu kencang dengan motor ninjanya meninggalkan Jamila.
-----...-----
Jamila menangis tersedu mengadukan hatinya pada kakak mentornya, teh Nabil. Dia adalah orang yang membantu Jamila berhijrah dan mengenal Islam lebih dekat. Dialah orang yang selalu mengerti Jamila, dibanding mama dan papa.
“Aku gak tahu harus bagaimana lagi, teh. Aku sudah mengabaikan harga diriku. Aku yang meminta Fikri menikahiku, teh. Aku malu, aku sudah sangat malu! Tapi dia tetap saja gak ngerti perasaanku. Fikri malah menolakku teh..”
Teh Nabil mengusap punggung Jamila yang sedang menangis di pangkuannya. Tidak, Jamila tidak boleh menangis seperti ini.
“Tidak sayang, harga dirimu masih utuh. Tidak berkurang sedikit pun. Fikri mungkin memang belum siap. Jiwanya masih labil, sehingga ia tidak mengerti apa maksud Mila. Tapi, ketahuilah.. Mila tidak perlu malu dan merasa rendah dengan apa yang telah Mila lakukan. Justru itu mulia, sayang. Kau tahu, siapa saja yang dulu melamar laki-laki duluan di zaman Rasulullah Sholallohu ‘Alaihi Wassalam?” tanyanya pada Jamila. Jamila mengusap air matanya dan menggelengkan kepalanya. Teh Nabil pun menceritakan beberapa kisah tentang perempuan hebat yang melamar laki-laki yang diinginkannya terlebih dahulu. Jamila pun tidak merasa sedih lagi dan bertekad melupakan Fikri, mantan kekasihnya.
Sementara itu, Fikri pun berusaha melupakan Jamila. Mulai dari Kika, Rina, Vivi, Laila, dan Firli tidak ada satupun yang cocok dengannya. Hubungannya dengan mereka hanya bertahan satu bulan atau dua bulan. Fikri tidak putus asa, masih banyak wanita cantik lainnya. Ia lalu berkencan dengan Seila tapi ternyata tidak lama juga, hanya bertahan seminggu saja. Seila hanya memoroti uangnya, tidak seperti Jamila. Akhirnya Fikri mencoba mengencani Karin, setelah tadi subuh memutuskan Seila.
“Bro, ternyata Karin udah punya anak!” kata Johan heboh.
“Yang bener lu!” ucap Lingga.
“Bener! Nih, kata temen gue si Margareth. Jadi si Karin itu emak tirinya dia,” seru Johan sambil menunjukkan bukti chatnya dengan Margareth.
“Wah, parah nih! Harus cepet-cepet dilaporin ke si Fikri ini!”
Fikri sudah menyerah dengan semua wanita. Baginya, mereka sama saja. Kecuali Jamila, dia berbeda. Pernah suatu hari Jamila meneleponnya, tapi ia tidak mengangkatnya karena sedang bersama Seila. Padahal ia ingin sekali mengangkat telepon itu, tapi.. egonya sudah menguasai dirinya. Dia sudah malas pada Jamila saat itu. Ingin sekali rasanya dia menelepon Jamila saat ini, tapi dia malu. Sudah dua tahun dia meninggalkan Jamila dan tidak pernah datang lagi kepadanya. Ia merindukan Jamila.
“Allahu Akbar.. Allahu Akbar!”
Adzan. Ia ingat, dulu saat adzan berkumandang, Jamila langsung memerintahkan untuk pergi ke mesjid atau terkadang Jamila yang meninggalkannya sendiri. Huh, setiap aktivitas kehidupan Fikri, pasti ada hal yang berkaitan dengan Jamila. Dia tersenyum sendiri, dan entah ada angin apa.. ia kini mulai sadar, “Kapan terakhir aku sholat?”
Fikri segera menyalakan motornya untuk pergi ke mesjid. Saat dia memarkirkan motor di samping pohon kersen, anak-anak kecil usia 5 sampai 10 tahun berebut salam kepadanya. Hatinya begitu tersentuh, entah mengapa ada perasaan bahagia, padahal dia tidak menyukai anak-anak.
Fikri mengambil air wudhu dan ikut sholat berjamaah. Di mesjid itu, kebetulan sedang ada pengajian rutin. Temanya adalah cinta. Entah mengapa, dia ingin berada di rumah Allah itu. Hatinya merasa tentram berada di sana. Mungkin inilah yang dirasakan oleh Jamila juga, sampai dia sangat menyukai masjid dan majelis ilmu.
“Bapak, ibu, adik-adik sekalian.. saya ingin menyampaikan materi tentang CINTA. Apa itu cinta?” tanya ustad yang sedang ceramah itu.
“Ibu? Ibu cinta sama bapak?” tanyanya pada ibu-ibu yang ada di belakang sana.
“Cintaaa!” teriak ibu-ibu itu.
“Apa itu cinta, bu?” tanyanya lagi. Ibu-ibu yang ditanya malah ketawa.
“Ditanya teh malah ketawa ibu mah. Ya sudah, sekarang bapak deh, bapak? Bapak cinta tidak sama ibu?”
“Cintaa” jawab bapak-bapak dengan suara kalem.
“Apa itu cinta, pak?” tanyanya lagi, bapak-bapak malah senyum-senyum sendiri.
“Ya sudah deh, yang jomblo mana yang jomblo? Para fakir cinta mana?” ucap ustad itu lagi. Saat itu, hati Fikri merasa terpanggil. “Iya saya jomblo, ustad!” batinnya.
Ustad itu menyampaikan materi dengan ringan namun dalam. Tidak terlihat serius, tapi pembahasannya serius. Banyak jamaah yang tertawa, namun di akhir ceramah, tak ada satu pun jamaah yang tidak menangis menyesali dosa-dosa. Begitu juga dengan Fikri. Ia menyesal, betapa banyak dosa yang ia lakukan. Banyak hal yang bisa dipetik dari ceramah tadi. Matanya seolah terbuka. Ia tidak ingin berbuat dosa lagi. Ia ingin berhijrah seperti Jamila juga. Ia butuh guru yang bisa membimbing dia. Jamila, dia yakin Jamila pasti mau menuntunnya. Fikri ingin menikahi Jamila.
-----...-----
Setelah pulang dari mesjid itu, Fikri menyesal benar-benar menyesal dengan keputusannya 2 tahun yang lalu, mengabaikan permintaan Jamila untuk menikahinya. Benar kata ustad di mesjid tadi, wanita seperti Jamila sulit ditemukan. Seharusnya, dia segera melamarnya, menikahinya, karena wanita butuh kepastian bukan janji semu belaka.
Fikri mengakui bahwa dirinya salah. Semenjak diberi nasihat oleh ustad yang di mesjid itu, dia langsung membuka tabungannya. Alhamdulillah, ada 430 juta. Insya Allah, cukup untuk melangsungkan pernikahan dengan Jamila. Segera ia kebut motornya untuk melamar Jamila. Ia ingin Jamila, gadis yang dicintainya sejak SMA segera halal untuknya.
“Assalamu’alaikum” ucap Fikri sambil mengetuk pintu.
“Wa’alaikumussalam” jawab bi Murni, seperti biasa. “Eh, den Fikri. Sudah lama tidak bertemu. Mau ke neng Mila yah?” tanyanya lagi.
“Iya bi, Jamilanya ada?” tanya Fikri memastikan.
“Neng Jamilanya sudah tidak ada, dua hari kemarin neng Mila berangkat ke Turki” jawaban bi Murni langsung melemaskan hati Fikri.
“Ke Turki bi?”
“Iya, aden tunggu dulu sebentar ya.. neng Mila sebelum berangkat nitipin surat buat aden ke bibi. Neng Mila bilang, kalau aden dateng tolong diberikan. Sebentar ya.” Ucap bi Murni.
Fikri masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Jamila ke Turki? Ada apa? Sekolah lagikah? Fikri tak putus asa, kemanapun Jamila pergi, ia akan tetap menyusulnya. Turki bukanlah sebuah masalah besar dibandingkan dengan harus kehilangan wanita shalehah, perhiasan terindah, seperti Jamila.
“Ini den, suratnya” ucap bi Murni sambil menyerahkan secarik kertas dalam amplop tosca.
“Makasih bi, Fikri pamit dulu. Assalamu’alaikum” pamitnya pergi. Segera ia kebut motornya, menuju tempat sepi nan sunyi, yang kini jadi tempat favoritnya, mesjid.
Fikri masih duduk di atas sajadahnya, membaca  berulang kali surat dari Jamila yang dititipkan pada bi Murni. Matanya sesekali, memejam.. hatinya sedikit tergores, tapi ia masih ingin membacanya.
Assalamu’alaikum, akhi.. apa kabar?
Sejak kepergianmu hari itu, dan engkau tak pernah datang lagi padaku, kuanggap saat itu, “Mungkin, engkau tak lagi menginginkanku”. Maaf, aku sudah berusaha menghubungimu, tapi kau tak pernah mau mengangkat telepon dariku. Maaf, aku sudah berusaha mencarimu, tapi aku tak kunjung mendapatkan keberadaanmu. Mungkin inilah takdirku, dan juga takdirmu.
Maaf, aku tak pandai merangkai kata, tapi kurang lebih seperti inilah kata yang ingin kusampaikan..
Ingatkah, saat sore sebelum engkau pulang ke rumah?
Di beranda rumahku,
Sambil melihat bunga yang telah layu
Kau selalu menatapku dengan tatapan itu
Tapi, aku berpura tak melihat
Dan kau merasa aku tak peduli padamu

Tidak! Sungguh aku tak menyukai tatapan itu
Karena itulah..
Tatapan yang membuat hatiku berdebar
Seakan penuh tanya, “Ada apa dengan diriku?”
Ada apa dengan hatimu?

Menjauh lebih aku sukai daripada dekat denganmu
Meskipun bersamamu adalah impianku
Tidak! Aku akan berjuang membunuhmu
Ketahuilah, aku akan membunuhmu dalam pikiranku

Cinta adalah fithrah, katamu
Iya, benar.
Lantas, mengapa mencintaiku
bila kau sendiri belum siap dengan cintamu?

Katamu,
Cinta butuh waktu, butuh pengorbanan,
butuh perjuangan, butuh kepastian,
butuh ini, butuh itu.

Katamu,
Aku itu terlalu jauh
Kau hanya mencintaiku
Sedangkan aku ingin halal bersamamu

Katamu,
Kau sudah lelah mendengarku
Kau sudah khatam ucapanku
Kau tak mau lagi berdebat denganku
Itulah kata terakhirmu,
yang selalu terngiang, dan terkadang
terasa menyakitkan

Baiklah,
Karena itu katamu, maka kini itu kataku juga

“Aku sudah lelah mendengarmu
Aku sudah khatam ucapanmu
Aku tak mau lagi berdebat denganmu”

Selamat tinggal
Aku akan menikah bulan depan.

Doakan aku ya akhi. Bulan depan aku akan menikah di Turki dan menetap tinggal di sana. Semoga engkau mendapat penggantiku, dan janganlah lagi mencariku. Semoga jodohmu adalah seorang wanita yang jauh lebih shalehah dariku yang bisa mengerti dirimu.
Maafkan aku, aku sudah cukup bersabar menunggumu. Tapi, kau tak jua datang padaku. Maafkan aku, karena pernah jadi sumber dosa bagimu. Selamat tinggal, semoga engkau bahagia dengan hidupmu.
Wassalamu’alaikum warrohmatullah wabarokatuh.
Jamila De’ Pricilla

Fikri menghela nafasnya. Rasa sesak dan perih yang dirasakan Jamila, begitu terasa oleh Fikri. Fikri tersadar, dia sudah banyak menyakiti Jamila. Dia sudah sangat egois, dia hanya memikirkan dirinya sendiri, mengabaikan perasaan Jamila.
Semoga engkau juga bahagia, Mila. Air matanya menetes, membasahi sajadah tempatnya bersujud. Hatinya berkata, mengiba pada Rabb-nya dalam taubat yang panjang, “Ampuni aku ya Ghofur”.
0

0 komentar:

Posting Komentar