Sedikit
aib, menceritakan tentang diriku. Tapi, semoga bisa bermanfaat!
Bila
flashback menceritakan masa kecilku,
rasanya jadi rindu ingin lagi seperti dulu. Ingin memperbaiki lembaran kisah
hidupku yang rusak. Tapi itu sesuatu yang sangat mustahil. Lorong waktu itu
tidak pernah ada, dan filmnya pun sudah tidak ada. Sekarang aku sudah dua puluh
tahun, dan sebentar lagi memasuki usia kedua puluh satu. Sudah cukup dewasa dan sudah cukup usia untuk
berkeluarga (hahaha).
Waktu
kecil, aku adalah anak yang paling manja dan suka mencari perhatian orang yang
lebih dewasa. Bila melihat seorang anak SMA atau mahasiswa, rasanya tuh.. waah,
keren jadi orang besar! Mandiri, cantik, dan mampu melindungi anak kecil. Tapi setelah
aku dewasa, ternyata biasa-biasa saja jadi orang gede. Gimana ya, mm..
ekspetasi aku saat kecil tentang orang dewasa, dengan kenyataan sekarang yang
kualami sebagai orang yang mulai tumbuh dewasa, ternyata jauh berbeda. Mungkin memang
karena akunya sendiri yang belum mampu menjadi aku yang kuharapkan. Dan bila
melihat kondisiku yang sekarang, jujur aku tidak pernah menyangka hidupku akan
seperti ini.
Dulu,
aku adalah seorang gadis kecil yang sangat cantik, sampai-sampai aku sering dipanggil Cabelita, Ci-odas (Si putih), Neng Geulis ( Neng cantik), dan lain-lain. Tapi panggilan itu diberikan sampai aku kelas 6 SD, huhuhu. Aku tidak secantik dulu lagi katanya hahaha, jadi aku tidak pantas lagi dipanggil "Si cantik". Unch, menyedihkan sekali.
Aku juga anak yang sangat penurut. Saking penurutnya, aku tidak pernah main hujan-hujanan, main lumpur, apalagi mandi di kali bersama teman-teman. Itu semuanya dilarang.
Aku termasuk anak yang pintar, dan sewaktu kecil bercita-cita
menjadi dokter yang menyeramkan, eh menyenangkan wkwkwk. Mainan-mainan perlengkapan dokter, aku punya semuanya. Dari mulai stetoskop, termometer, pisau bedah, suntikan, dan lain sebagainya ada di rumah. Pasien-pasienku yang malang adalah para boneka yang tak memiliki dosa dan nyawa, haha. Mereka ada yang kubedah, kulilit kain, dan kukompres dengan air dingin agar demamnya hilang.
Kalau dipikir-pikir, dulu itu aku anak kecil yang sangat berkelas, yah. Udah cantik, bersih, pintar, penurut, lucu, hmmm..
Tapi sayangnya, waktu kecil itu hati
aku begitu lembut sehingga mudah rapuh dan akhirnya dengan mudah
pula menitikan airmata, atau bahasa singkatnya diriku ini cengeng.
Iya,
aku gampang banget nangis. “Iis itu dikit-dikit nangis, dikit-dikit nangis”,
kata kakakku yang kesal melihat aku yang gampang banget menitikan air mata
kealayan. Padahal, seingat aku, dulu itu aku sudah cukup tegar untuk menahan
keperihan yang kurasakan, hiks.
Aku
tidak ingat, semua hal yang membuat diriku bercengeng ria. Aku hanya ingat,
dulu aku sering nangis karena sering jatuh sampai berdarah dan banyak luka
lebam dari lutut sampai mata kaki. Aku juga pernah menangis karena tidak bisa
mengerjakan soal matematika dan agama, hahaha. Konyolnyaa diriku! Tapi, hanya segitu saja sih yang aku ingat. Hehehe.
Duh,
aku jadi gemes nih ingin nyeritain. Jadi, dulu itu aku tidak sekolah TK tapi
langsung masuk SD, dan saat masuk SD aku telat masuknya. Entah telat seminggu
atau sebulan, aku lupa. Jadi, saat teman-teman belajarnya sudah jauh melanglang
buana, diriku masih saja belajar menulis aksara 1 – 2 – 3 dan seterusnya.
Di
hari kedua bersekolah, aku masuk telat. Aku masih ingat dengan jelas saat itu
sedang belajar matematika. Di rumah sebenarnya aku sudah belajar menghitung,
tapi hanya sampai puluhan. Sedangkan pada saat itu, pelajaran yang diberikan
sudah memasuki penjumlahan ratusan. Aaahh, ini gimanaaa? Susaaah!
Serius,
aku nangis saat itu. Tidak ada yang memberi tahu cara mengerjakannya bagaimana.
Tidak ada yang memberi contekan. Dan yang lebih menyedihkan, aku hanya tinggal
sendirian di kelas. Semua orang sudah selesai dan pulang. Aku hanya bisa
menjawab satu soal, itu pun nyontek dari teman. Akhirnya aku memberanikan diri
maju ke depan, memberikan pekerjaanku pada guruku, ibu Tini namanya. Saat itu,
aku dapat nilai 1 dan seketika langsung menangis tersedu-sedu. Guruku yang baik
menenangkan aku dengan memerintahkan untuk mengerjakannya lagi di rumah. Aku pun
tenang dan pulang dengan air mata berlinang.
Sesampainya
di rumah, aku pun mengadu pada ketiga kakakku. Mereka dengan sabar mengajariku
sampai aku mahir dalam berhitung penjumlahan, pengurangan dari ratusan sampai
ribuan. Hebat kan, aku? Hahaha.
Aku
juga pernah nangis gara-gara gak bisa ngerjain soal ulangan agama. Susah banget,
jadinya aku gemes pengen tahu apa jawabannya. Kok aku sampai tidak tahu sih,
emang pernah belajar kayak gini? Duhh.. gak ngerti. Akhirnya aku nangis deh..
alhasil, aku digimanain yaa.. lupa hahaha.
Tapi,
itu hanya di awal aku bersekolah, loh. Setelah beberapa bulan menyesuaikan diri,
akhirnya aku mampu melesat mengungguli beberapa temanku yang lainnya. Wkwkwk. Bayangkan,
yang tadinya gak ngerti gimana ngejumlahin angka, tiba-tiba pas semesteran
langsung bisa dapat peringkat keempat dari tujuh puluh siswa. Itu pas kelas satu,
kesananya alhamdulillah selalu peringkat ketiga. Pas SMP selalu peringkat pertama, kecuali pas kelas tiganya malah mendapat rangking lima, wkwkw. Kalau pas SMA, aku selalu mendapat peringkat ketiga, tapi pas kelas tiga mendapat peringkat pertama, yeeeaay! Ah, gitu aja kok bangga ya, wkwk.
Tapi sebenarnya inilah yang ingin aku bahas. (Hehe, baru mau membahas, maafkan yaa..)
Sedari kecil, banyak yang menganggap aku adalah anak yang pintar. Tidak hanya di sekolah biasa, di sekolah agama pun begitu. Aku menjadi pusat jawaban dan orang bertanya pada saat ujian. Aku juga dulu berpikir bahwa aku adalah anak yang pintar, tapi sebenarnya adalah tidak.
Aku bukanlah anak yang pintar.
Aku hanya anak yang rajin dan melakukan segala sesuatu yang kusukai dengan maksimal.
Sedari kecil, aku sangat suka matematika. Aku sering tidur sampai jam 2 malam hanya untuk mengerjakan soal matematika yang ada di buku. Ketika orang tua menyuruhku untuk tidur, aku berpura-pura untuk tidur terus melanjutkan kembali membuka buku sampai aku merasa lelah dengan sendirinya.
Aku juga sangat suka menggambar. Ketika aku sedang menggambar, aku akan menggambar sampai aku lelah. Satu hari bisa menghabiskan satu buku gambar dan crayon atau pensil warna akan cepat habis dalam beberapa bulan.
Aku pun sangat suka dengan pantun sewaktu SD dan puisi saat SMP. Aku pernah dipuji wali kelas karena buku catatan bahasa Indonesiaku dipenuhi pantun-pantun kreatif. Kalau puisi, dulu aku bisa membuat 10 puisi dalam sehari, dan punya buku kumpulan puisi yang kini raib entah kemana.
Itulah aku, si anak rajin yang membuat dirinya jadi anak yang pintar dan bisa memenangkan puluhan kejuaraan.
Kupikir kepintaranku adalah bakat yang aku miliki, rupanya bukan. Semua itu buah dari usaha dan kerja kerasku dalam belajar. Aku sadar sekarang, karena kini aku tidak sepintar dahulu. Aku tidak bisa mendapatkan semua yang kuinginkan seperti dahulu. Ini semua salahku, karena kini aku begitu pemalas.
Ketika suka terhadap sesuatu, maka aku akan terobsesi kepadanya. Aku termasuk kepribadian yang berlebihan. Hal ini tentu akan positif, bila kondisiku sedang berada di garis positif. Tapi hal ini akan berdampak sangat negatif, bila aku sedang berada di garis yang negatif. Dan aku sadar, kini aku sedang berada di garis negatif itu.
Ya Allah, terkadang aku prihatin dengan kondisiku sendiri. Tapi memang susah untuk lepas dari semua ini. Kadang, aku sering berpikir mengapa sih aku seperti ini? Ini tidak normal. Aku tidak suka seperti ini, tapi hal ini memang tidak bisa lepas begitu saja.
Ketika aku suka, aku akan sangat menyukainya. Ketika aku tidak suka, maka aku tidak akan pernah suka kepadanya.
Ketika aku lupa, aku akan lupa segalanya. Ketika aku ingat, aku pun akan ingat sampai kedetail-detailnya.
Ketika aku rajin, aku akan melakukan segalanya. Ketika aku malas, maka aku akan malas melakukan segalanya.
Kini, aku sedang berjuang untuk melawan rasa berlebihan itu, dan bagiku ini tidak mudah.
Bagi para pembaca, tolong.. jangan seperti aku! Ambil positifnya dan buang negatifnya!
to be continued...
0 komentar:
Posting Komentar