Minggu, 11 Desember 2016

Surat Cinta dari Tuhanku


Saudaraku, pernahkah kalian merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta atau berada dalam posisi hati yang sedang kasmaran? Sebagian besar dari kita, sudah tentu pernah merasakannya, bukan? Karena biasanya perasaan seperti itu muncul saat seseorang telah menginjak masa remaja atau bahasa gaulnya adalah masa a-be-ge (anak baru gede).
Rasa cinta atau kasmaran tersebut sebenarnya bisa menjadi hal yang sangat positif dan bahkan berpahala jika kita mampu mengarahkannya dengan benar. Nah, lho kok bagaimana bisa? Bukankah sebuah perasaan yang belum diikat dengan halal itu dosa? Eits, jangan salah, segala sesuatu yang berhubungan dengan cinta adalah hal yang baik lagi benar selagi itu di jalan yang benar. Cinta adalah anugerah, lantas mengapa harus ada batas untuk mensyukuri nikmat cinta yang telah Allah berikan?
Namun, kita juga harus waspada ya, Saudaraku. Sebab, Syaithan itu selalu saja menjadikan nikmat cinta itu menjadi sesuatu yang dimurkai oleh Allah Swt. Syaithan membuat kita lebih mencintai dan menginginkan apa-apa yang bukan milik kita. Kita semua mungkin sudah tidak asing dengan istilah, “Rumput tetangga lebih menarik daripada rumput di halaman sendiri”. Kalimat itu ternyata berlaku juga dalam kehidupan sehari-hari. Kita selalu disibukkan oleh hal-hal yang bisa mendekatkan diri pada sesuatu yang bukan milik kita. Salah satu contohnya adalah mendekati anak orang yang diinginkan tapi belum siap menghalalkan/dihalalkan. Ups! (Tenang, pembahasannya tidak ke situ kok).
Nah, terkadang, karena sibuk mengejar apa yang belum kita dapatkan, seringkali kita lalai terhadap apa yang seharusnya kita lakukan. Tujuan hidup manusia adalah beribadah kepada Allah. Hal ini, seharusnya menjadi sebuah dasar dalam setiap aktivitas kehidupan kita. Segala sesuatu itu harus dilandaskan untuk beribadah kepada Allah semata. Tujuan dari beribadah adalah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Agar kita dicintai-Nya dan digolongkan ke dalam barisan orang-orang shaleh yang berhak mewarisi Surga-Nya. Otomatis, jika kita ingin dicintai oleh Allah, kita pun harus mencintai-Nya terlebih dahulu.
Sangat egois dan tidak masuk akal, jika kita menginginkan menjadi orang yang dicintai Allah tetapi kita tidak mencintai Allah. Kita ingin masuk Surga Allah, tapi kita tidak mencintai Allah. Bukankah, Surga adalah tempat bagi orang yang dekat dengan Allah. Orang yang dekat dengan Allah, sudah tentu adalah orang yang mencintai Allah. Sudahkah kita mencintai Allah?
Bayangkan, misalnya ada orang yang memaksa kita untuk mencintainya. Akan tetapi, orang itu tidak mencintai kita dan tidak pernah mau mendekati kita. Dia hanya ingin agar kita memberi apapun yang dia minta. Bagaimana pendapatmu mengenai orang itu, duhai Saudaraku? Bukankah, orang itu sungguh aneh! Pikiran dan keinginannya tidak dapat diterima, bukan?
Sekarang, mari kita bermuhasabbah. Dalam konteks hubungan ketuhanan, sudahkah kita mencintai-Nya? Tak inginkah kita berada di surga-Nya? Tak inginkah kita menjadi seorang hamba yang disayangi-Nya?

Wah, pembahasan ini sepertinya mulai serius. Mari kita netralkan lagi dengan mengingat-ingat cerita cinta yang pernah kita rasakan. Barangkali, satu atau beberapa dari kita yang pernah merasakan kasmaran dan jatuh cinta, masih ingat dengan masa-masa jahiliyah itu. Dulu, kita mungkin merasa senang dan hati itu bagaikan melayang-layang saat si dia yang kita sukai memberikan surat cintanya kepada kita. Ah, jangankan surat cinta, sms atau chat dibalas cepat saja hati sudah berbunga-bunga. Bahkan, obrolan-obrolan di handphone selalu kita baca ulang untuk mengingat-ingat apa yang telah kita lakukan dan rasakan. Kalau zaman sekarang tentu tidak hanya itu. Modernnya zaman membuat segala sesuatu untuk mendapatkan informasi tentang si dia bukan lagi hal yang susah. Semuanya mudah. Ingin lihat foto dia, tidak perlu lagi membuka album kenangan. Apalagi saat ini banyak sosial media yang sukses membuat kita betah berlama-lama stalking ataupun diam di beranda sosial medianya.
Astagfirullah, itu semua adalah cinta, tapi itu semua pun adalah dosa. Cinta bisa menjadi pahala dan suatu nikmat yang tak terkira, tapi cinta juga ternyata bisa menjadi dosa dan bumerang bagi kita bila tidak bisa menghadapinya. Semuanya adalah tentang bagaimana kita mengendalikan cinta. Mari kita lupakan cinta yang telah menjadi sumber dosa bagi diri kita. Jadikan itu hanya sebagai pengalaman jahiliyah dan kekhilafan kita di saat remaja.
 Nah, daripada memikirkan cinta yang haram kita pikirkan, mending kita pikirkan cinta yang halal kita pikirkan. Mari kita pikirkan bagaimana cara menjemput cinta yang berbuah pahala dan Surga. Tentu saja pokok dari cinta ini adalah, cinta pada Allah Swt.
Tahukah, sahabatku?
Allah begitu mencintai kita. 1400 tahun yang lalu, Dia dengan Rahmaan-Nya telah menitipkan surat cinta melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. untuk hamba-Nya yang beriman. Maasya Allah!
Surat cinta dari Allah itu, kita kenal dengan sebutan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah sebuah kumpulan surat-surat yang berisikan kata-kata yang penuh hikmah, puitis, romantis, dan mulia yang pernah ada di dunia. Tidak ada satu kitab pun yang bisa menandingi Al-Qur’an. Bahkan, 80% isi kandungan dari Al-Qur’an saat ini sudah terbukti benar secara ilmiah. Al-Qur’an adalah bukti kebenaran dari-Nya agar kita mendapat pelajaran, petunjuk, serta rahmat. Lalu, apakah kita tidak terpesona dengan keagungan Al-Qur’an? Mengapa kita masih malas untuk membacanya? Mengapa kita ragu untuk menghafalnya? Jawabannnya ada di firman Allah Swt. dalam QS. Muhammad ayat 24, “Maka apakah mereka tidak memerhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”. Bisa jadi, kemalasan kita dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an adalah karena sudah terkuncinya hati kita pada kebenaran. Naudzubillah. Yuk, mumpung hatinya belum tergembok (hehe), kita coba buka lagi hati kita dengan segala keridhaan dan keikhlasan untuk menjemput hidayah dan cinta dari-Nya.
Untuk bisa mencintai Allah, tentu kita harus mau mendekati-Nya. Salah satunya ialah banyak berinteraksi dengan Al-Qur’an. Yuk, kita baca Al-Qur’an, dan kita biasakan baca berulang-ulang. Bukankah dulu saat kita kasmaran kita juga  sering membaca history chat berulang-ulang? Mengapa tidak kita terapkan juga pada Al-Qur’an? Mudah-mudahan, kita juga bisa kasmaran dengan Allah Swt. dan lambat laun kita bisa utuh mencintai-Nya. Orang yang mencintai Al-Qur’an sudah tentu pasti mencintai Allah. Begitupun orang yang mencintai Allah pasti tidak akan jenuh atau bosan membaca surat-surat cinta dari-Nya.

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka?”

(Al-Hadid: 16)
0

0 komentar:

Posting Komentar